Selasa, 12 Agustus 2014

Mudik (Asyik Ga Asyik) 2014 part 1

Mudik lebaran bukan lagi sekedar kewajiban bagi para perantau kebanyakan. Tingginya traffic sejumlah jalur mudik menjadi bukti nyata kalau mudik sudah menjadi tradisi dan budaya. Waktu perjalanan darat atau lebih tepatnya pengguna kendaraan yang bisa menjadi 2 bahkan 3 kali lipat tidak menyurutkan niat warga untuk melaksanakan mudik.

Nah, tahun ini untuk pertama kalinya dalam sejarah, kami menjajal mudik menggunakan kendaraan pribadi. Yup, saya sebagai ibu rumah tangga 'parno'an seringkali menghindari hal-hal yang berpotensi menyusahkan diri sendiri a.k.a ga mau susah:p. Lah, jalanan padat begitu kok pada maksain banget gitu lo. Itu pikiran selama ini loh ya. Apalagi, sebagai mantan reporter mudik di tahun 2000-an toh saya juga sudah bisa membayangkan seperti apa rasanya berjam-jam terjebak macet.

Tapi, itu dulu. Sekarang, berstatuskan isteri orang Jawa yang sangat menjunjung tinggi ritual mudik ini, saya mau tak mau harus banyak kompromi. Memasuki tahun ke-7 pernikahan, tepatnya di lebaran idul fitri 2014/1435 H akhirnya kami sekeluarga mencoba mudik Jalur Pantura. Tak hanya membawa anak-anak, kami pun mengajak serta Kakek tersayang dan uncle Endo tercinta (cinta karena uncle rajin banget traktir makan enak selama perjalanan *matreee:D). 

Justru karena si uncle Endo inilah mudik kita akhirnya terlaksana. Berdalih belum pernah menjajal Jalur Pantura, jadi uncle Endo paling bersemangat menompor-ngompori saya untuk mudik bawa kendaraan sendiri. Huaaa, si Papi yang selama ini paling niyaaaat mudik tentu langsung jumawa. 

Jadilah akhirnya mudik (asyik ga asyik) Pantura dimulai tepat pada hari H Lebaran Idul Fitri. Rencananya hari itu kita mau berangkat abis Subuh tapi karena para krucil baru pada bangun jam 5-an, jadinya kita berangkat sekitar 5.30.

Alhamdulillah perjalananan menuju Tol Cikampek lancar jaya, dan akhirnya di Rest Area KM 62 (sesuai rencana) kita bisa shalat Idul Fitri dulu. Karena saya tidak mungkin mengajak baby Neio yang lagi lincah-lincahnya ini ntuk shalat, jadilah saya dan Neio menunggu saja di teras restoran KFC yang meski tutup tapi masih menyediakan kursi yang bisa kita pakai untuk makan ketupat. 

The Journey is Begin

Senangnya jadi bocah bisa tidur dengan posisi maksimal

Selfie...selfie
Abis shalat, kita lanjut lagi jalan dan alhamdulillah ya, sesuai prediksi, itu jalan Cikampek lengang banget. The legend of Jomin pun terlewati dengan lancar. Beberapa kali Uncle Endo yang berada di balik kemudi memacu kendaraan hingga 120 KM. Wuihhh, asyik bener kan?!. Barulah memasuki Pemalang tepatnya beberapa kilometer menjelang 'The broken bridge' Comal nan fenomenal itu, tanda-tanda kemacetan mulai nyata terlihat. 

Kita yang pada saat itu sudah terlanjur kena macet dan belum makan siang pula, akhirnya hanya bisa pasrah 'dibuang' melewati jalur alternatif yang jalannya kecil dan panjaaaaang bagai tak berujung. Mana sepi tempat makan pula. Jadilah kami ngemil-ngemil asyik di mobil sambil sesekali menenangkan bocah--bocah gelisah belum makan siang. 

Kurang lebih 1,5 jam melewati jalur alternatif ternyata kita menemukan tanda-tanda kehidupan yang ternyata masih di daerah Comal sodara-sodara. Jadi, itu jalur hanya membelok-belokkan kita untuk menghindari 'broken bidge' dan jelas-jelas membuat perjalanan jadi jauh lebih lama. Ya wis, sabaaaarrr. 

Setelah makan siang di rumah makan soto ayam yang rasanya jauh dari enak akhirnya kami bisa melanjutkan perjalanan di Jalur Pantura dengan relatif lancar. Tak terasa, jam 5  kurang kita sudah masuk Semarang dan menyempatkan diri shalat di salah satu SPBU yang cukup bersih. Sayangnya, karena kita salah lihat alamat hotel dan akhirnya mutar-mutar mencari hotel, kita baru bisa check in di hotel jam 6. Perjalanan berdurasi 12 jam terbayar sudah ketika melihat hotelnya cukup nyaman dan baby Neio masih aktif berlari-lari melintasi connecting door di kamar.  

Ekspresi sampai hotel di Semarang
Malamnya, kita pun berniat mencari tempat makan paling enak karena makan siang yang sangat tidak maksimal. Eh, gak sengaja saat mengitari kota Semarang yang malam itu terlihat cantik, saya melihat kerumunan orang di Warung Bakmi Jawa Rebi Menteri Supeno. Spontan, karena khawatir makin malam dan makin susah mendapatkan makanan pada hari Lebaran, kita langsung masuk saja. Alhamdulillah, bakmi Jawa membuat hari Lebaran kita di Semarang malam itu menjadi sempurna.

Bakmi yang sangat sederhana tapi otentik terasa sangat nikmat di lidah. Tak heran, kursi warung yang memang tidak terlalu luas ini selalu terisi penuh. Bahkan beberapa warga rela antre demi mendapatkan beberapa porsi Bakmi Rebi. Setelah perut kenyang dan baby Neio mengantuk, maka kamipun balik ke hotel dan ternyata ketakutan banyaknya restoran yang tutup itu salah besar sodara-sodara. Menjelang Simpang Lima yang menjadi ikon kota Semarang, warung lesehan tetap buka dan ramai. Bahkan kota Semarang malam itu tetap semarak dengan kehadiran sepeda dan becak lampu. Sayangnya Neio sudah ngantuk berat dan tidak bisa menikmati gemerlapnya becak lampu.

Keesokan harinya, kami siap-siap check out dan membeli sedikit oleh-oleh untuk keluarga di Jepara. Tak lupa  mencoba tahu bakso di Jalan Pandanaran yang endess abisss. Duuuh, saya mulai khawatir dengan jarum timbangan nanti abis liburan, hikkkksss. Tapi, namapun hari kemenangan jadi wajib dirayakan lah yaaa *lagi-lagi pembenaran, hehehehe.

Morning Sunshine...Enjoying our coffee morning

Brother (partner) in Crime

Our Quality Time

Mother&Daughter, Friend Forever

Neio 'Topan' (bukan) Anak Jalanan
 
Kids Club tapi hanya mandi bola doang...*TetapHappy

Selfie...selfie is in the air
----to be continue----
                                                                                                                                                                                                           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar