Setiap kali memasuki tahun baru atau berulang tahun saya makin menyadari umur berkurang dan setiap kali mendapat kabar duka baik itu teman seumuran ataupun siapapun itu yang lebih dulu menghadapNya saya selalu berpikir ingin meninggalkan cerita buat orang-orang tersayang.
Banyak hal yang mungkin tidak terucapkan melalui lisan namun melalui tulisan terkadang jauh lebih bermakna. Beberapa 'white lies' juga bisa diungkap melalui tulisan meski pada akhirnya akan terungkap pada waktunya nanti namun setidaknya (semoga) bisa dimaklumi, hehe.
Nah, talking about 'white lies', sebenarnya saya bukan tipe ibu yang ingin terlihat sempurna di mata anak-anaknya. Sebagai ibu pekerja yang membantu roda perekonomian keluarga tentu banyak kekurangan yang saya miliki. Misalnya, saya ga jago masak, lebih suka bebenah rumah dan taman daripada harus berkutat di dapur. Saya juga bukan termasuk dalam golongan pintar yang pakai banget meski di sekolah masih masuk 5 sampai 10 besar. Namun dibandingkan kedua saudara laki-laki saya maka kecerdasan saya masuk kategori so so.
Tapi apalah daya, ketika memiliki anak dan anak pertama saya bisa dikategorikan anak yang sangat kompetitif, ingin selalu tampil, maka mau tidak mau saya melakukan 'white lie' yang pertama (meski tidak ingat juga yang berikutnya apa, semoga tidak ada ya, hehe).
Setiap kali Kakak bertanya, 'Mami pernah ranking 1 gak?' dan dengan yakinnya saya menjawab 'pernah waktu SD'. Meski agak menyesal karena terpaksa berbohong namun niatan saya waktu itu hanyalah untuk memotivasi si Kakak untuk lebih rajin belajar.
Ketika Kakak memasuki kelas 4 SD akhirnya saya mulai santai dan tidak terlalu mementingkan ranking lagi. Apalagi setelah membaca beberapa artikel parenting mengenai pendidikan akhirnya saya membulatkan tekad untuk tidak peduli pada ranking. Saya hanya ingin Kakak belajar dengan baik dan perkara apapun hasilnya ya itulah kemampuannya.
Jika kelas 1-3 SD kakak lebih banyak belajar dengan papinya terutama pada saat ujian semester, maka di semester pertama kelas IV SD saya lebih banyak menemaninya. Apalagi si papi sering lembur dan pulang lebih malam. Sampai akhirnya saya menyadari ternyata pelajaran anak-anak SD sekarang susahnya minta ampun. Mendadak saya merasa jadi lebih pintar karena tiba-tiba jadi tahu struktur mata, struktur telinga, tumbuh-tumbuhan ditambah pengetahuan sejarah tentang Kerajaan Nusantara.
Selama mendampingi belajar berkali-kali saya harus membuka 'Mbah Google' demi menemukan jawaban yang tidak ada di buku paket. Kadang saya merasa kasihan karena dengan mata yang sudah '5 watt' namun beberapa materi belum sempat dibahas. Jika sudah demikian biasanya saya kan langsung stop dan minta si Kakak supaya lebih banyak berdo'a atau ikut review sekolah di pagi hari dengan berangkat lebih awal.
Setelah masa-masa ujian semester terlewati saya bisa melihat betapa kakak sangat lega dan bisa punya waktu nonton TV favoritnya lebih lama. Sesekali dia akan bertanya, 'Mami, kira-kira Kakak bisa ranking 1 gak ya? Kakak pengen sekali ke Singapur'. Ya, sebelumnya si papi tanpa kompromi dengan saya telah menjanjikan akan mengajak liburan ke Singapura kalau dia berhasil ranking 1. Sejak mendengar cerita tentang teman-temannya yang sering ke luar negeri, Nadhifa jadi latah. Ya, namapun bocah jaman now ya bow apalagi resiko menyekolahkan di sekolah yang memang mayoritas muridnya dari keluarga berada dan rata-rata sudah ke luar negeri. Dan entah mengapa pula negara yang dipilih adalah Singapur (kali menyesuaikan dengan kemampuan mak bapaknya yak, noce girl:p).
Hingga akhirnya Hari H pengampilan rapor pun tiba. Seperti biasa setelah menjalani rutinitas Sabtu pagi, kita sampai di sekolah rada siangan. Saya sama sekali tidak berharap si Kakak ranking 1. Apalagi beberapa hari sebelumnya ada satu ujian yang nilainya 89, di bawah rata-rata nilainya yang lain dan saya sangat sangat menyesal sempat kesal hingga pada saat hasil ulangan diperlihatkan Kakak sampai menangis. Maafin Mami ya Kak, semoga ke depan mami bisa lebih sabar, amin. Katanya ga peduli ranking tapi masih ga terima hasil ulangan anaknya di bawah 90, haduh dasar mak2 yaaaa.... *tepok jidat.
Memasuki kelas pembagian rapor akhirnya bisa copy darat dengan Ibu Wali Kelas karena selama ini
kita hanya komunikasi by wa group atau japri. Ibu guru tak banyak berkata apa-apa padahal pas lagi antri berasa lama gitu ngobrolnya sama murid dan wali murid yang sebelumnya.
Ibu guru langsung memperlihatkan daftar ranking dan rincian nilai yang nomor urutnya ada di paling atas (padahal no absen 30) dengan nilai rata-rata 98 atau 97 koma sekian. Huaaaa, rasanya Mami pengen nangis Kak, terima kasih Kakak, kerja keras kakak berbuah hasil, semoga bisa konsisten ya Kak.
Namun, kalaupun pada suatu masa Kakak merasa hasilnya belum seperti yang diinginkan tidak usah kecewa Kak. Kegagalan itu hal biasa Kak. Melalui kegagalan kita akan belajar untuk berusaha lebih baik, melalui kegagalan kita belajar menghargai usaha orang lain, melalui kegagalan kita bisa belajar rendah hati meski kesuksesan juga tidak boleh membuat kita sombong dan merendahkan orang lain.
You'll always be my sunshine Kak, I love you to the moon and back...