Rabu, 24 September 2014

Girls Talk #2

Ngobrol dengan anak perempuan yang sedang bertumbuh selalu penuh kejutan. Pertanyaan-pertanyaan tak terduga penuh jebakan kerap mengalir begitu saja dan membuat 'Sang Mommy' speechless tak berdaya. Namun menunjukkan muka penuh kebingungan di depan gadis kecil yang sedang penasaran tentu juga tak bijak bukan.

Beruntung, meski tak pernah mendapat kelas khusus akting, saya masih bisa berusaha menampilkan muka manis dan bijaksana untuk semua pertanyaan-pertanyaan menakjubkan yang terlontar dari Nadhifa. 

Seiring dengan bertambahnya usia, kini Nadhifa makin kritis. Pertanyaan kritisnya kini sudah meulai spesifik tak lagi abstrak seperti dulu. Percakapan pun bisa terjadi kapan saja, di kamar tidur, di mobil saat jalan-jalan, di taman kala bermain atau bahkan di kamar mandi. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu di kamar mandi saat mau pipis :

Nadhifa : Mami, adek bayi itu keluarnya dari mana?
Mami    : *diam sambil mulai mengira-ngira jawaban yang pas
Nadhifa : dari perut kan mi, aku gak mau hamil, aku gak mau perut aku dibelah Mi....*diulang-ulang sambil nangis berurai air mata
Mami    : Gak usah mikirin itu Kak, sekarang kakak belajar dan main dulu saja, itu kan masih jauuuuuh banget. SD aja baru kelas 1 Nak...Gak usah dipikirin yang begituan.
Nadhifa : *ngeyel sambil mengulang-ngulang statemen yang sama

Teteh yang ikut mendengar percakapan kita akhirnya menimpali: kalau kakak gigit kuku baru dibelah poerutnya karena banyak cacingnya, kalau adek bayi mah keluarnya dilepeh (sambil mencontohkan)

Nadhifa : Ya udah, aku gak mau gigit jari lagi, aku gak mau perutnya dibelah...

Nadhifa memang selama ini punya kebiasaan buruk suka menggit-gigit kuku tangan sampai-sampai saya lupa kapan terakhir memotong kuku si Kakak. Beberapa hari ini sejak percakapan di atas kayanya sudah mulai tidak menggigit kuku lagi dan isu soal 'adek bayi' juga sudah terlupakan dengan sendirinya meski konsep penjelasannya masih jauh dari kebenaran. Hahahaha.

Insya Allah pada saatnya nanti saya yang akan langsung menjelaskan proses kelahiran bayi ini pada Nadhifa, termasuk pertanyaan-pertanyaan sensitif lain. Untuk sementara, Kakak terpaksa harus menerima penjelasan 'menyesatkan' dari si teteh dulu ya, hehe.

Bonus : Anak gadis nan kritis mencoba gaya levitasi...

Process is the most important thing...

then...

yippieee...I did it...




 

Kamis, 11 September 2014

Rhenald Kasali yang selalu Menginspirasi

Berstatuskan mahasiswa dan bermimpi menjadi bagian dari pendidik 'bangsa' di masa depan, saya  selalu mendapat pencerahan dari setiap tulisan Bapak Rhenald Kasali.Senang sekali bisa menemukan artikel ini di timeline teman facebook, monggo diresapi...

SEBUAH RENUNGAN DARI SANG GURU BESAR

BUDAYA MENGHUKUM DAN MENGHAKIMI PARA PENDIDIK DI INDONESIA
Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

...Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”

“Dari Indonesia,” jawab saya.

Dia pun tersenyum.

BUDAYA MENGHUKUM

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan argumentasinya.

“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.

Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

***

Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.

Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”

Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

Selasa, 09 September 2014

Setiap Rumah Punya Kisah

Setiap rumah selalu menyimpan banyak cerita. Begitu juga dengan rumah Padang yang selama ini menjadi tempat untuk pulang. Pulang melepas lelah dari segala rutinitas, pulang untuk bercengkerama dengan keluarga besar, juga pulang untuk mengenang berbagai cerita.

Sejak berdomisili di luar kota, mulai dari jaman kuliah di Bandung hingga bekerja dan menetap di Jakarta, rutinitas pulang kampung selalu memberi kebahagiaan tersendiri. Merasakan kehangatan keluarga di rumah, seolah menjadi sarana 'recharge' yang mumpuni. Namun, sejak separuh jiwaku pergi, semua terasa berbeda. Sepertinya ada ruang hampa di rumah seolah mewakili kekosongan hati saya. Namun, saya mencoba sebisa mungkin untuk menjaga tradisi Pulang Kampung ini selalu masuk dalam agenda tahunan. Setahun sekali wajib hukumnya, kalau bisa dua tahun sekali ya Alhamdulillah.

Untuk tahun ini, ketika memutuskan sekolah lagi, tiba-tiba hasrat untuk pulang itu begitu menggebu-gebu. Modal muka memelas, saya kuatkan tekad minta ijin pada Bapak Suami untuk membawa anak-anak rehat sejenak. Meski awalnya mantan pacar terasa berat hati karena doi ga bisa ikut (namapun bankir koq ya susye sekali ijin cutinya) akhirnya ijin yang ditunggu itu keluar juga. Kendati harus mempertaruhkan rasa kesepian yang akan mendera selama kurang lebih 10 hari, namun demi kebahagiaan isteri tercinta, Bapak Suami pun mengikhlaskan, hehehe.

Sebenarnya semangat pulang kali ini buat saya pribadi memiliki makna lebih. Tak hanya kangen dengan rumah, namun saya juga ingin 'ijin' pada alamarhumah Mama untuk sekolah lagi. Meski kita terpisah pada 2 alam yang berbeda, bagaimanapun saya ingin Mama ikut merasakan semangat saya untuk kembali melanjutkan pendidikan. Saya ingin Mama tahu bahwa anak-anaknya punya semangat belajar yang tinggi.

Selain itu, kepulangan ini juga sekaligus menjadi ajang bersih-bersih rumah. Meski selama ini ada tante yang selalu rutin datang membersihkan rumah 2 minggu sekali, pasti tetap akan berbeda rasanya jika dibersihkan oleh pemiliknya langsung, ya kaaaan. Sebagai satu-satunya anak perempuan dalam keluarga, saya merasa memiliki tanggung jawab lebih dalam hal membersihkan rumah ini. Apalagi, sejak Mama tidak ada, saya merasa paling bertanggung jawab soal kebersihan rumah kesayangan. Sementara dua orang saudara laki-laki tentunya tidak bisa terlalu diandalkan. Disinilah kodrat memainkan perannya.

Lebih-lebih Endo yang officially sebagai penghuni rumah saat weekend sejak 2 tahun terakhir ini ternyata lebih banyak berperan sebagai 'tersangka' ketika rumah berantakan *urut dada. Tapi apa mau dikata, nyinyir pada orang yang memang tak menaruh minat pada kegiatan bersih-bersih menjadi tak ada artinya.

Jadilah, selama 9 hari di rumah, saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk berbenah. Mencuci gordyn, membersihkan kaca (dengan kombinasi cairan Porst** dan Cli** karena kotoran yang sudah menempel) yang bertahun-tahun tak pernah dibersihkan, mengepel lantai bekas plafon yang bocor (lagi-lagi dengan Porst**), mengembalikan kilau keramik di teras depan hingga menyikat kamar mandi sampai kinclong (kembali memakai Porst**). Hasilnya, kaki dan tangan 'hancur' karena kontaminasi reaksi kimia langsung.

Luas rumah Padang yang cukup lumayan, sukses membuat peluh mengucur, badan ringsek dan napas ngos-ngosan. Tapi entah kenapa, jika telah menyelesaikan satu bagian rumah, saya merasa mendapat energi baru untuk membersihkan bagian lainnya di keesokan hari.

Semangat makin bertambah jika melihat ketekunan Papa membersihkan halaman dan kebun samping. Kami seolah berkolaborasi menyelesaikan target pekerjaan hari demi hari, macam orang kejar setoran. Sekilas, terbayang senyuman Mama ketika melihat rumah kesayangannya dirawat penuh cinta oleh orang-orang tersayang.

Mama selama ini memang dikenal sangat concern dengan kebersihan rumah. Tak boleh ada satu jaring sawar yang bersarang di plafon. Menyapu pun tak cukup sekali sehari, tapi bisa berkali-kali. Soal tanaman jangan ditanya. Semua tumbuhan di halaman harus mendapatkan air sebagai nutrisi utama tiap hari. Belum lagi nutrisi tambahan pada waktu-waktu tertentu untuk memastikan semua tanaman tumbuh subur.

Sementara saya, selama ini biasanya hanya bersifat membantu atau back up saja. Ketika mama meninggalkan kami selama-lamanya sama sekali tak terbayang soal perawatan rumah. Untunglah, momen pulang selalu menjadi titik balik buat saya untuk lebih terlibat dalam soal perawatan rumah Padang. Entah kenapa, saya seolah (masih) merasakan kehadiran Mama di setiap sudut rumah yang membuat ritual membersihkan rumah menjadi kebahagiaan tersendiri. Semakin rumah bersih rasanya bonding saya dengan Mama makin erat. (Lagi-lagi) Saya bisa merasakan sebuah energi positif dan 'melihat' Mama tersenyum penuh makna.

Menurut saya, keikhlasan kita dalam merawat benda peninggalan orang tua, apapun bentuknya tentunya dapat menjadi sebuah penghormatan bagi mereka. Khususnya rumah, sebuah bangunan yang menyimpan berjuta kisah,  dibangun dengan penuh perjuangan dan pengorbanan serta senantiasa disirami dengan cinta dan kasih sepanjang masa. Sudah selayaknyalah kita sebagai anak-anak ikut melestarikan dan merawatnya sebagaimana mereka melakukannya semasa hidupnya.

Mmmhh, dalam hitungan beberapa bulan ke depan, rumah ini akan ditempati oleh kakak saya dan keluarganya. Saya berharap dengan sangat agar si Uda dan isterinya ini dapat merasakan 'chemistry'nya dengan Almarhumah Mama, sehingga momen merawat dan membersihkan rumah tidak menjadi suatu beban tapi dapat membawa kebahagiaan seperti apa yang saya rasakan. Aminnn

Stay beautiful 'Homey'





here, my heart belongs

Bonus :

Masih seperti dulu

'Menaklukkan' pohon mangga lewat genteng bukan batang...*anti mainstream

Sports centre...

Kiri-kanan arah jarum jam, SD, GOR berlatih bulu tangkis dan Marching Band serta penampakan kelas jaman SMP dari balik pagar

Musholla yang menyimpan cerita kenakalan khas anak-anak (kenakalan ga pakai tanda kutip lo yaaa)

Sekolah kebanggaan kami tempat Mama mengabdi



Jumat, 05 September 2014

Kuliah (Lagi) itu Pengorbanan

Pengalaman kuliah pastinya memiliki kesan tersendiri bagi siapapun yang menjalani. Saya juga merasakan saat pertama kali kuliah jauh dari keluarga a.k.a merantau lintas pulau. Seribu satu kisah terekam apik dalam kepala. Keringat, tangis dan air mata mewarnai setiap perjalanan mengejar gelar Sarjana.

Alhamdulillah semua terbayar ketika bisa lulus tepat waktu dan langsung mendapat pekerjaan idaman sesuai background dan passion. Maka nikmat Tuhan yang manakah yang engkau dustakan?. Kalimat maha dahsyat yang selalu mengajarkan untuk tawadhu dan bersyukur.

Setelah 15 tahun berlalu sejak pertama kali menginjakkan kaki di kampus, kini sensasi itu kembali hadir. Atmosfir kampus yang menyejukkan jiwa, teori demi teori yang menyegarkan otak rasanya cukup mengalahkan rasa lelah setelah seharian bekerja. Ditambah perjuangan untuk mencapai kampus pada saat jam pulang kantor di kota metropolitan Jakarta. Fiuuuuhhh, begitu melihat gerbang almamater rasanya ada bisikan-bisikan "Anda layak mendapat Bintang", hehehe.

Yup, officially per 1 September saya memiliki agenda baru yakni Kuliah Malam. Bahagia sekali rasanya menyandang status mahasiswa Pasca Sarjana di Kampus impian banyak pelajar se-Indonesia, Universitas Indonesia (UI). Kharisma UI memang tak pernah luntur meski pernah didera Kasus Korupsi. Buktinya, semua pelajar berlomba memilih UI sebagai kampus pilihan pada saat masa  penerimaan mahasiswa baru.

Kalau saya pribadi lebih pada rasa penasaran karena rasanya sayang jika gelar S1 dari Universitas Padjadjaran Bandung yang sudah diraih harus disandingkan dengan Universitas Swasta. Tidak bermaksud mendiskreditkan Universitas Swasta, namun jika kesempatan Kuliah UI itu ada, kenapa tidak?. Alhamdulillah semesta mendengar. Setelah dinyatakan lulus Ujian tertulis SIMAK UI pada akhir Juni lalu, akhirnya saya menginjakkan kaki juga di almamater impian.

Usai menyelesaikan urusan administrasi dan mengisi Isian Rencana Studi/IRS online (beda banget dengan jaman S1 yang harus berburu Dosen Pembimbing, setelah seminggu kuliah sekarang pun saya belum pernah bertemu Pembimbing Akademik di UI), selang beberapa minggu saya mulai belajar di kelas dengan para Profesor Guru Besar UI. Kami hanya saling bertegur sapa secara virtual by email. Canggih yaaaa.... *katroooo.

Hari pertama berangkat ke Kampus saya menggunakan Kereta Api rute Bintaro-Tanah Abang. Karena si Teteh yang pulang mendadak karena Bapaknya meninggal membuat saya pulang dari kantor lebih awal dan memutuskan berangkat ke kantor setelah Bapaknya anak-anak pulang ke rumah. Hasilnya, terlambat 30 menit saja...:(

Hari kedua, sepulang dari kantor saya begitu bersemangat menuju Salemba. Posisi kantor di Prapanca, Jakarta Selatan membuat saya harus meraba-raba jenis angkutan apa yang praktis menuju UI Salemba. Saya memutuskan berjalan kaki menuju Terminal Blok M yang berjarak kurang lebih 500 meter sambil membayangkan jenis angkutan yang akan saya tumpangi.

Setibanya di Terminal Blok M barulah saya menyadari angkutan jurusan Salemba itu tidak semudah yang saya kira. Meski sempat bertanya pada suami dan teman-teman kantor, akhirnya di terminal saya juga masih harus bertanya pada polisi dan petugas Dinas Perhubungan. Malu bertanya sesat di jalan pan, hihihi. Sore itu saya mencoba mengikuti rekomendasi dari petugas Dishub untuk menjajal Kopaja 66 menuju Manggarai karena menurut doi rute Manggarai - Salemba sudah relatif dekat.

Namapun warga yang baik ya saya manut saja. Ternyata, sore itu jalur Blok M-Manggarai benar-benar tidak bersahabat. Macet pembangunan MRT ditambah macet di kawasan 'neraka' Kuningan membuat saya ngos-ngosan setiba di kampus.

Ganti baju, sholat di mesjid dan tidak sempat makan malam. Sebenarnya menurut teman-teman yang pernah kuliah di S2 Magister Komunikasi UI ini, mahasiswa mendapat jatah makan malam prasmanan, namun semester ini tidak disediakan lagi karena anggaran yang mepet (menurut Staf Bagian TU), nasiiiiibbb. Penggantinya, mahasiswa dapat menikmati snack box dan air mineral gelas. Weleh...weleh, degradasinya ga kira-kira, masa iya dari prasmanan langsung snack box, mbok yan ganti nasi kotakan dulu napaaa...*kuciwa.

Malam itu. saya berusaha melupakan soal prasmanan dan mulai konsentrasi pada perkuliahan di hari kedua, eh tetap ga bisa dong karena perut khas indonesia ini benar-benar menuntut harus diisi Nasi, wkwkwkwk. Jadilah malam itu kurang konsentrasi karena belum ketemu nasi, hehe.

Akhirnya, barulah di hari keempat yang merupakan hari terakhir kuliah di minggu pertama, saya mulai merasakan secercah harapan. Beralih menggunakan bis Transjakarta (sebelum naik selalu berdo'a agar bisnya tidak terbakar, haha) saya mencoba jurus baru. Naik dari Blok M, transit di halte Dukuh Atas 1, nyambung pake rute Pulo Gadung, transit lagi di halte Matraman dan nyambung pakai rute Ancol lalu turun di halte Salemba UI. Kali ini saya bisa sampai setengah jam lebih awal meski kaki gempor menyusuri lorong-lorong halte dan ngantri.

Tapi, semua terbayar ketika saya bisa merasakan kenikmatan makan nasi rawon di kantin Kampus dilanjutkan Shalat magrib berjamaah dengan baju ganti dan muka bersih. Lebih fresh, lebih tenang dan semoga bisa lebih bisa menyerap apa yang disampaikan dosen, amin.

Begitulah, kenapa kuliah (lagi) itu pengorbanan. Tak hanya menempuh jarak yang lumayan, Bintaro-Prapanca-Salemba-Bintaro, sya juga harus mengorbankan kebersamaan dengan keluarga terutama anak-anak bocah yang masih menuntut perhatian. Untunglah dukungan dari keluarga terutama suami dan papa berhasil menguatkan tekad.

Khususnya suami, rasanya bersyukur sekali bisa menjadi partner dalam segala hal. Mulai dari support mengantarkan saat ujian, pendaftaran hingga komitmen untuk mendampingi anak-anak di malam hari ketika saya harus kuliah. Papa juga tak kalah hebat. Kesediaan dan keikhlasan untuk mengawasi anak-anak di siang hari seringkali membuat saya terharu dan merasa bersalah. Entah bagaimana akan membalasnya.

Sementara anak-anak, saya tak tahu mendeskripsikannya bagaimana. Saya yakin dan percaya, kelak mereka bisa memahami keputusan ibunya untuk studi S2. Bukan mengejar gengsi dan eksistensi tapi lebih pada keinginan untuk terus belajar mengasah otak demi ilmu yang bermanfaat. Lebih jauh tentunya berharap agar ilmu yang diperoleh bisa menjadi modal mengembangkan potensi diri baik di keluarga maupun di dunia kerja.

Satu hal yang ingin saya tanamkan pada anak-anak, 'jangan pernah merasa terlambat untuk belajar karena tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai sebuah kebaikan'. Semoga kita bisa menebar kebaikan bersama orang-orang yang kita sayangi.

Semangat Belajar...

id kebanggaan penuh pengorbanan 'the yellow jacket'

Rabu, 03 September 2014

Wujudkan Bintaro Peduli Sampah

Tinggal di kawasan Bintaro yang terus berbenah menjadi kota mandiri dan menyandang predikat 'The Profesional City' tentu membanggakan. Apalagi nilai properti di  Bintaro Jaya terus meningkat berkali-kali lipat dalam 5 (lima) tahun terakhir. Bahkan melewati batas imajinasi kita saat mulai berinvestasi membeli properti di kawasan ini. Masih teringat, 7 tahun lalu saat kami memutuskan membeli rumah impian di kawasan Bintaro, tepatnya di Jalan Graha Bintaro, daerah tersebut masih sepi dan lengang. Meski sudah ada beberapa sekolah bertaraf internasional di sekitarnya, namun saat itu tetap saja terasa sepi.

Hari berganti, tahun berlalu, mulai 3 tahun terakhir ini kawasan Bintaro sektor 9 paling ujung ini malah semakin diminati. Sejumlah cluster baru bermunculan. Apalagi dengan dibangunnya jalan arteri segmen 6 yang menghubungkan Boulevard Bintaro Jaya di sektor 7 langsung ke Jalan Graha Bintaro. Ini seperti 'dream come true' bagi saya dan juga warga Bintaro Jaya 'pelosok' ini. Jalan yang dijanjikan sejak kita menandatangani kontrak pembelian rumah 7 tahun silam akhirnya bisa dinikmati. Betapa tidak, tanpa jalan tembus ini, kita selalu dipusingkan dengan kemacetan di Jalan Parigi yang sepertinya sudah melebihi kapasitas. Apalagi pada saat proses pembetonan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan dan mau tidak mau diberlakukan sistem buka tutup, kemacetan di jalan ini terasa sungguh menyiksa.

Dibangunnya jalan arteri segmen 6 ini benar-benar membawa angin segar. Ditambah lagi jalan yang dibangun juga akan dilengkapi dengan pedestrian walk dan bike path. Sebuah fasilitas yang entah kenapa, selama ini terasa sangat 'mahal' di sebuah kota mandiri seperti Bintaro. Mimpi mengajak anggota keluarga dan anak-anak bersepeda atau sekedar jalan pagi di hari libur semakin mendekati kenyataan. Selama ini selalu was-was kalau bersepeda atau sekedar jalan kaki di antara lalu lalang kendaraan.


Menurut pengelola Bintaro Jaya, pedestrian walk merupakan konsep baru yang dikembangkan Bintaro Jaya untuk memberikan fasilitas yang lebih nyaman dan aman bagi para pejalan kaki, juga pesepeda. Pedestrian walk akan terdiri dari jalur khusus pejalan kaki dan pesepeda, selebar 4 meter. Artinya, jalur sepeda tidak lagi berada sejajar dengan jalan raya, tapi pindah ke pedestrian. Bahkan di sepanjang pedestrian walk, rencananya juga akan dilengkapi dengan beberapa street furniture, seperti bangku-bangku taman, panic button, dan lampu-lampu penerangan. Marka-marka jalan pendukung pedestrian walk, juga akan dipasang, supaya pengendara mobil atau motor, menghormati para pejalan kaki dan pesepeda.

Wah, kebayang kan seperti apa indahnya nya kotanya 'para profesional' ini nanti. Namun, selain beberapa street furniture seperti yang disebutkan di atas, tampaknya Bintaro Jaya juga perlu  menyediakan tempat sampah di beberapa sudut pedestrian walk dan bike path ini. Terutama di sekitar bangku-bangku taman. Biasanya bangku taman akan dimanfaatkan untuk bersantai sambil menikmati makanan ringan (camilan) dan minuman. Pastinya kita gak mau kan konsep pedestrian yang sudah keren ini ternodai dengan tumpukan-tumpukan sampah di sekitarnya. Memang sih ada petugas kebersihan dari Bintaro Jaya yang selalu sigap dengan sapu dan kantong sampahnya. Tapi menurut hemat saya menumbuhkan kesadaran warga untuk membuang sampah pada tempatnya jauh lebih berarti dibandingkan kehadiran 1000 orang petugas kebersihan sekalipun.

Kesadaran warga untuk terlibat menjaga lingkungan sekitarnya masih sangat rendah. Lihatlah  taman-taman di sekitar kawasan Bintaro, terutama di hari libur. Sehabis berolahraga pagi, sampah karena ulah tangan-tangan tak bertanggung jawab juga bertebaran dimana-dimana. Selain karena memang minim fasilitas tempat sampah, kesadaran warga untuk menjaga kebersihan lingkungan juga masih kurang. Bahkan, tak hanya di akhir pekan, pada hari-hari biasa juga ada beberapa sudut kawasan Bintaro yang dijadikan tempat piknik dadakan. Warga yang tinggal di Bintaro Jaya maupun warga di sekitarnya berbondong-bondong datang, baik sekedar bersantai menikmati suasana sore atau menemani putra-putri tercinta menunggangi kuda di tanah merah, naik odong-odong dan bermain di bouncer atau balon raksasa yang bisa menjadi arena bermain anak-anak portable. Pada saat menjelang magrib dan 'pesta' usai, ceceran sampah akan menjadi pemandangan yang lazim.

Tak hanya itu, ketika acara-acara resmi maupun hajatan pernikahan, ulang tahun, dan acara-acara serupa lainnya, yang menyediakan snack box ataupun sejenisnya, kita juga masih akan menemui kotak-kotak dan sampah plastik berserakan di lantai atau di bawah kursi. Seolah tanpa merasa bersalah, para tamu undangan dari berbagai kalangan, mulai warga biasa hingga orang gedongan masih banyak yang menyimpan sampahnya di tempat-tempat yang tidak semestinya. Padahal di beberapa acara, panitia sudah menyediakan tempat sampah atau tempat piring kotor sekalipun. Lagi-lagi, minimnya kesadaran warga dalam menjaga kebersihan tidak menggerakkan mereka untuk membuang sampah pada tempatnya.

Sudah saatnya Bintaro Jaya di usianya yang ke-35 mulai memikirkan konsep sosialisasi dan edukasi warga dalam menjaga kebersihan lingkungannya. Ke depan, Bintaro Jaya  juga diharapkan dapat membina warga dalam melakukan pemilahan dan pengolahan sampah Rumah Tangga. Bagaimana warga bisa melakukan pemilahan sampah mulai dari Rumah Tangga masing-masing dengan mengklasifikan sampah organik, an organik dan Bahan Berbahaya & Beracun (B3). Bahkan, seperti yang sudah dilakukan di beberapa kota, tidak tertutup kemungkinan warga Bintaro dapat mengembangkan Bank Sampah. Lewat Bank Sampah kita tak hanya sekedar merubah perilaku, namun sekaligus menabung dan mendatangkan rupiah.

Konsep Bank Sampah pada dasarnya cukup sederhana menggunakan konsep 5 M, yaitu Mengurangi sampah, memilah sampah, memanfaatkan sampah, mendaur ulang sampah hingga menabung sampah. Komitmen yang tinggi dari semua stakeholder yang terlibat diyakini dapat menggerakkan perekonomian warga. Bukan tidak mungkin, Bintaro Jaya bersinergi dengan Pemerintah Kota untuk ikut mengedukasi dan mensosialisasikan Bank Sampah ini pada warga di luar Bintaro Jaya. Di usia yang ke 35 tahun tentu menjadi usia yang sangat cukup bagi Bintaro Jaya untuk ikut membimbing Kota Tangsel yang masih sangat belia. Bagaimanapun, persoalan sampah masih menjadi momok bagi Kota Tangsel. Inovasi dan kreasi dari Bintaro Jaya yang bisa saja dituangkan dalam bentuk CSR (Corporate Social Responsibility) diharapkan mampu membawa Tangsel ikut maju dan sejajar dengan kawasan Bintaro Jaya.

Selamat Ulang Tahun Bintaro Jaya, JAYALAH terus BINTARO JAYAKU.

Note: Tulisan ini pernah dikirimkan untuk Lomba Karya Tulis 35th Bintaro Jaya, alhamdulillah belum menang, hehehe




Celotehan Neio

Mengamati perkembangan Batita itu memang luar biasa. Baru-baru ini saya abis cuti pulang kampung ke Padang dan menghabiskan hari demi hari bersama Neio (25bulan) selama kurang lebih 10 hari, full day, unseparatable, ceileeeeh.

Tak disadari, sekarang kosa kata Neio sudah bertambah banyak. Kita pun sudah bisa berkomunikasi layaknya orang dewasa karena sangat-sangat nyambung sekali. Apapun bisa ditanyakan dan disambung dengan kata-kata 'apa' untuk setiap topik yang sedang dibicarakan. Lucu, gemas, seru, kadang sampai tertawa guling-guling *lebay.

Nah, setelah pulang dari Padang (ceritanya masih terserak di kepala entah kapan akan dirangkai), saya melihat Neio ada bintitan di matanya. Kebetulan Senin saya ijin pulang cepat karena mendadak si Teteh harus pulang ke Bogor berhubung Bapaknya meninggal (innalillahi wa inna ilaihi roji'un). Kepikiran lah untuk bawa Neio ke dokter spesialis anak yang memang jadwalnya praktek pada hari itu.

Tidak seperti beberapa bulan sebelumnya waktu kunjungan ke dokter anak, kini Neio terlihat lebih cool. Bisa jadi karena ini faktor jam tidur siang yang terlewati dengan sukses. Fresh bangun tidur, makan siang sambil tunggu antrean, maka ketika berada di ruangan dokter acara konsultasi siang ini bisa dibilang sukses.

Usai diperiksa, sambil menungu Pak dokter membuatkan resep, saya iseng nanya cita-cita Neio. Berharap si anak bisa menjawab sebuah profesi sesuai harapan mak nya :p

Scene 1

Me     : Neio, kalau sudah besar mau jadi apa?
Neio   : mmmhhh...jadi orang bingung....
Me     : (muka merah)
dokter : Duh, jangan bingung Nak, kalau bingung pegangan saja (sambil tertawa)

Langsung saja dokternya bertanya siapa gerangan yang mengajarkan jawaban itu sambil menjudge pasti ada orang di sekitarnya yang menginspirasi Neio terkait jawaban si bocah. Menurut dokter???.
Masa iya maminya yang protektif ambisius ini mau anaknya jadi orang bingung...*sambil menatap sinis antagonis pada si dokter.

Barulah saya teringat waktu di perjalanan menuju Rumah Sakit kita sempat menyanyikan lagu Macet si Komo nan fenomenal itu di mobil. Lirik terakhir sukses dinyanyikan adek Neio...'Pak Polisi jadi bingung, orang-orang ikut bingung'...

Sebelum semakin dituduh menyesatkan oleh si dokter, sayapun berusaha menjelaskan soal lagu tersebut, entah si dokter bisa menerima atau tidak...saya pun tak peduli, hehehe.

Tak mau insiden 'orang bingung' terulang lagi, saya langsung menjelaskan pada Neio kalau jawaban itu tidak bagus sambil menjelaskan profesi-profesi menarik seperti pilot, dokter, dll ketika ada pertanyaan tentang cita-cita. Jadi, dalam rang berlatih, kini dalam sehari pasti ada dialog soal cita-cita ini dengan Neio.

Hasilnya, kini saya bisa bernafas lega. Setiap kali ditanya soal cita-cita, jawabannya sudah relatif aman, hehehe.

Scene 2

Me   : Neio, kalau sudah besar mau jadi apa?
Neio : Jadi Pilot
Me   : Pesawat apa?
Neio : Garuda, Sriwijaya
Me   : Mami diajak gak dek?
Neio : diajak

Topik lain yang tak kalah seru dilatih untuk Neio, diantaranya :

Scene 3

Me   : Neio, presiden Indonesia siapa? (sambil bisikin Jokowi)
Neio : jotowi
Me   : bagus, wakilnya? (sambil bisikin JK)
Neio: teka

Sayangnya pada scene ini ada interfensi dari Papi yang bilang Prabowo sebagai presiden. Beruntung anak ganteng ini masih dengerin kata Maminya, hihihihi.

Teruslah merangkai kata Neio hingga nanti ketika saatnya tiba kau bisa menuliskannya untuk keabadian.





Selasa, 02 September 2014

Happy 6th Birthday Nadhifa

My Dear Nadhifa,

Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat, kini 6 tahun sudah usiamu. Pastinya Kakak Nadhifa makin dewasa, makin pintar dan pelan-pelan mulai bisa belajar memaknai hidup.

Sayang, selama ini mungkin kami agak memanjakanmu. Memenuhi semua permintaanmu hingga akhirnya di ulang tahun ke-6 ini Kakak mulai bisa 'request' macam-macam. Mulai pesta di restoran cepat saji, kado yang banyak, hingga cake ulang tahun 'Frozen'.

Mami juga tidak menyalahkan Kakak karena beragam 'request' ini karena bagaimanapun, salah satu konsekuensi menyekolahkanmu di sekolah yang menurut orang-orang 'mahal' sedikit banyak pasti berpengaruh pada life style kakak. Tapi, jangan pernah terjebak dengan semua itu Kak.

Pesta Ultah mewah, kado banyak dan semua prilaku konsumtif lainnya tidak selamanya menjamin kebahagiaan kita. Adakalanya semua semu. Menurut kami orang tua yang mungkin masih  agak 'primitif' ini, makna Ulang Tahun seseungguhnya lebih pada bentuk rasa syukur atas nikmat umur yang masih diberikan Allah SWT. Kesempatan untuk introspeksi dan kontemplasi atas hal-hal yang telah kita lakukan dan mulai memperbaiki diri menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Terdengar sederhana memang tapi tidak sesederhana itu untuk diaplikasikan sehari-hari.
 
Happy 6th Birhday My lovely Daughter Nadhifa Chaudry Farsya
Teriring semua do'a terbaik dari Mami untuk Kakak Tersayang

Our 'Party Corner'


'Birthday Girl'
Akur terus ya Belahan Jiwa

'Cake Cinta' meski bukan 'Frozen'

Well, beberapa hari lalu Mami menemukan sebuah artikel menarik untuk disimak dari salah teman Facebook. Artikel ini membuka mata Mami, betapa selama ini pujian yang seringkali Mami sampaikan pada Kakak ternyata tidak selamanya berdampak baik. So, maaf ya Kak, mulai sekarang pujian 'cantik' nya akan mulai dikurangi sedikit demi sedikit biar tidak semakin menyesatkan, hehehe

Jangan Puji Anak Perempuan Cantik
Ada sebuah kisah menarik yang dituangkan Lisa Bloom, pengarang ‘Think: Straight Talk for Women to Stay Smart in a Dumbed-Down World’. Menurutnya, anak perempuan sekarang bertumbuh dengan keinginan besar untuk tampil cantik, daripada tampil pintar. Mereka lebih khawatir kalau mereka tampak gemuk dan jelek.

Dalam bukunya, ia menunjukkan bahwa 15-18% anak perempuan di bawah dua belas tahun saat ini sudah memakai maskara, eyeliner dan lipstik. Kepercayaan diri anak perempuan menurun kalau tidak merasa cantik. Hampir 25% remaja perempuan akan merasa bangga menang America's Next Top Model daripada memikirkan untuk memenangi Nobel.

Karenanya memuji anak perempuan bahwa dia cantik, akan membuatnya makin merasa betapa penampilan menjadi penting. Bayangkan nanti dia sudah diet di usia lima, memakai bedak di usia 11, botoks dan operasi payudara di usia 20-an. Apa yang hilang? Mereka akan kehilangan makna hidup, mengungkap sebuah gagasan dan membaca buku untuk mengembangkan pemikiran dan pencapaiannya.

Bloom berkisah, suatu kali ia pernah bertemu dengan anak perempuan temannya berusia lima tahun yang cantik bernama Maya. Rambutnya terurai, matanya indah, dan gaun warna pink yang manis. Seketika ia ingin sekali teriak "Maya, kamu cantik sekali, coba lihat dan berputar". Namun, ia urungkan dan ia tahan niatan itu. Meskipun itu adalah hal yang biasa untuk memuji seorang anak perempuan, sekaligus mencairkan suasana, dia punya alasan lain.

Lalu, bagaimana baiknya? Lisa lalu mengajak Maya, untuk bicara hal lain daripada sekedar memuji.
"Hai Maya, senang bertemu denganmu," sembari menatap mata Maya.
"Senang bertemu denganmu juga," ujarnya dengan kalem seperti orang dewasa.
"Apakah kamu suka membaca?" ujarnya lagi. Maya diam sebentar. "Aku menyukai buku, apakah kamu juga suka buku," lanjutnya.
"Ya. dan aku bisa membacakannya untukmu," jawab Maya akhirnya.

Maya lalu benar-benar membacakan buku pilihannya dengan lantang. Kisah tentang seorang tokoh perempuan yang menyukai warna pink melawan sekelompok anak jahat yang kerap memakai warna hitam. Tidakkah buku ini juga mengajarkannya betapa sosok perempuan dilihat dari penampilan daripada karakternya. Maya juga kerap membandingkan mana yang lebih cantik, tubuhnya lebih ramping dan pakain yang paling bagus.

Lisa lalu mengajak Maya untuk di kemudian hari memilih buku yang lain jika nanti mereka bertemu lagi. Dari sini diketahui bahwa betapa susahnya nanti mendidik anak perempuan untuk mengajarkan mereka betapa penampilan mestinya tidaklah hal yang utama. Namun, di tengah kepungan industri kecantikan, produk perawatan, kompetisi perempuan cantik sejagad dan budaya selebriti lainnya, usaha mengajari mereka harus dua kali lipat lebih besar.

Setidaknya jika suatu saat nanti Anda bertemu seorang anak perempuan, termasuk anak Anda sendiri, usahakan jangan buru-buru memuji penampilannya. Akan lebih baik mengajak mereka untuk berpikir dan bertanya sesuatu tentang apa yang ia baca. Apakah ia menyukai buku itu atau tidak, dan mengapa? Dari sini pembicaraan akan berkembang sekaligus mengembangkan pola pikir dan inteligensia mereka. Sehingga bisa mengubah cara berpikir anak perempuan bahwa menjadi pintar lebih penting daripada sekedar cantik. Selamat mencoba!

(Sumber: Kompas.com)

Senin, 01 September 2014

September Ceria...

Hi September,

Terinspirasi lagu, berharap selalu ada keceriaan di bulan September ini...Aminnn

September Ceria
by : Vina Panduwinata

di pucuk kemarau panjang 
yang bersinar menyakitkan 
kau datang menghantar
berjuta kesejukan

kasih... 
kau beri udara untuk nafasku 
kau beri warna bagi kelabu jiwaku



tatkala butiran hujan 
mengusik impian semu
kau hadir di sini
di batas kerinduanku

kasih... 
kau singkap tirai kabut di hatiku
kau isi harapan baru
untuk menyongsong
harapan bersama

september ceria... september ceria...
september ceria... september ceria...
milik kita bersama

ketika rembulan bersinar
di hamparan citra biru
kutatap sebersit isyarat dimatamu

kasih...
kau sibak sepi di sanubariku 
kau bawa daku berani dalam asmara dan mendamba bahagia

september ceria... september ceria...
september ceria .. september ceria... 
milik kita bersama