Sudah hampir beberapa minggu ini saya lagi tidak rutin menggunakan kereta untuk beraktifitas. Berhubung lagi Diklat dan posisinya searah dengan kantor si Papi, jadi saya lebih sering nebeng. Lumayan lah ya, hemat ongkos namun sukses bikin pegal bujur (pantat, hiks). Tapiiiii, seruuu, bisa dua-dua an sama Papi di motor, jiaaaahhh.
Membelah kemacetan ibukota menggunakan motor ternyata menyadarkan saya betapa beratnya perjuangan si Papi dalam mencari nafkah *cupcupPapi. Salut juga buat ribuan bikers ibukota lain yang hampir setiap hari berjuang menaklukkan jalanan ibukota.
Salip-salipan mendahului motor jadi pemandangan lazim, menyalip Kopaja atau Metromini juga menjadi sebuah tantangan. Bahkan mengendarai motor dengan melawan arus seringkali jadi sebuah pembenaran di beberapa ruas jalan, Jakarta oh Jakarta. Padahal sudah banyak kasus kecelakaan lalu lintas yang menelan korban jiwa karena perilaku bikers yang kerap melawan arus ini. Unfortunately, si Papi pun sering melakukannya, huaa, lindungi kami Ya Allah.
Di lain kesempatan, saya juga merasakan tetesan air langit di atas motor. Minus jas hujan dan helm namun ingin segera sampai di rumah bertemu buah hati tercinta, jadilah hujan badai diterabas. Rasanya nikmat saudara-saudara. Percakapan singkat bersama belahan jiwa makin menyejukkan hati :
Papi : Mi, kapan terakhir ujan-ujanan
Mami : Lupa pi, kayanya udah lama deh, tapi kalo ujan-ujanan ama Papi siy asyik-asyik aja...
Papi : eeaaaa
Di tengah guyuran hujan yang terasa menembus kulit, saya menyaksikan banyak bikers lain yang memilih berteduh di pelataran toko. Tak sedikit juga yang berhenti di bawah jembatan/flyover demi menghindari guyuran hujan dan jelas-jelas bikin macet. Begitulah hidup, mau memilih hujan-hujanan atau berteduh dulu, bebas tapi mbok ya kalau bisa yang berteduh pun jangan sampai menyusahkan pengguna jalan yang lain dong yaaaa...
Aniway...Padat dan beratnya perjuangan hidup di Jakarta sempat loh bikin saya 'menyerah'. Terpikir untuk pulang kampung, hidup tenang, damai sentosa jauh dari hiruk pikuk dan kebisingan kota metropolitan. Namun, apa daya, niat sepihak ini tidak mendapat dukungan Bapaknya anak-anak. Istilah si Papi, hujan batu di negeri orang masih lebih enak daripada hujan emas di negeri sendiri. Apalagi saya dan si Papi ini memang berasal dari 2 daerah yang berbeda. Jadi, niat menetap di kampung saya pun makin jauh dari kenyataan. Menurut si Papi, Jakarta merupakan kota netral (tengah-tengah) yang paling realistis untuk ditinggali.
Jadi, ya sudahlah ya, mulai sekarang lupakan niat pulang kampung dan mulailah menikmati kenyataan, ppffhhh. Keluhan dan keluhan toh juga tidak merubah keadaan.
Berdamai dengan situasi selalu menjadi solusi. Setelah kondisi kereta yang penuh sesak dan kini jalanan yang macet gilaaaa, akhirnya saya hanya bisa tutup mata, tarik napas panjang, lepaskan (lewat mulut ya bukan lobang yang lain, hihihi). At least, feel better for a while....:)
At the end, sangat berharap semoga nanti seiring bertambahnya usia tranportasi massal yang layak dan nyaman benar-benar dapat saya rasakan. Ga kebayang kalau udah nini nini masih harus naik motor, berjubel di kereta yang padat atau bermacet-macet ria pake mobil di jalanan. Caiyyyoooo Jakartaaaah...
O iya, sedikit puisi yang terinspirasi di sela-sela macet
Jakarta
Kota penuh makna
Tempat berjuta warga menggantung asa
Kini terasa semakin menyiksa
Namun apa daya...
Tak usah banyak tanya
Semua tiada guna
Bukankah hidup memang perjuangan
Hingga nantinya saatnya tiba...
Note : Dudududududu, mendadak melllow...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar