Senin, 10 Maret 2014

Rumah (Penuh) Cinta #1

Memiliki rumah impian di kawasan Jakarta dan sekitarnya menjadi impian para pekerja perantau seperti saya (mungkin juga jutaan pekerja lainnya). Ini pula yang saya alami setelah beberapa tahun bekerja di belantara Ibukota ini. Masuk Jakarta sebagai karyawan swasta di akhir tahun 2004 cukup membuat saya akrab dengan suasana permukiman ibukota yang padat, sempit dan sumpek namun harga sewa selangit. Jadi setelah beberapa tahun bersatus sebagai Kosser alias anak kos akhirnya saya bertekad suatu hari harus bisa punya rumah sendiri.

Gaji karyawan baru yang saat itu juga masih pas-pasan tidak menyurutkan niat saya dong untuk rajin menabung (salah satu kriteria cewek idaman banget ya:D). Apalagi pekerjaan sebagai seorang Reporter yang cukup sering bertugas ke luar kota tentu bisa dapat tambahan income ekstra dari Surat Perjalanan Dinas (SPJ). Ditambah gaya hidup yang biasa-biasa saja, membuat saldo tabungan saya kala itu cukup lumayan lo (ini bakat nabung atau pelit ya *thinking). Tapi, ya sebagai warga pendatang yang terbiasa hidup biasa-biasa saja, jadi memang saya tidak terlalu mementingkan gaya hidup juga. Selama bisa makan teratur, sesekali hang out iseng ama teman (hang out serius tetap nungguin fasilitas kantor aja #indahnya liputan luar kota), nonton juga jarang-jarang (kecuali kalau ada yang traktir) jadi cukup membantu peningkatan jumlah saldo rekening.

Hingga akhirnya bertemu calon pendamping saat itu yang sama-sama berorientasi melanjutkan hubungan ke tingkatan yang lebih tinggi, akhirnya saya mengutarakan niat dan mimpi saya bisa membeli rumah. Sempat kaget lo calon bapaknya anak-anak ini ketika mendengar obsesi saya yang cukup visioner itu. Meski kita sudah sepakat untuk menikah, tapi buat desye, nyari (beli) rumah mah ntar-ntar aja gitu. Yang penting kan nikah dulu saja, toh buat nikah juga pasti sudah mengeluarkan dana cukup besar. Saya bersikeras menolak dan keukeuh kita harus beli rumah dulu sebelum menikah (stress ga tuh calonnya, hahahaha).

Beruntung, setelah argumentasi panjang lebar dan si pacar ini mulai luluh juga, lanjutlah kita hunting mencari sosok rumah impian. Listing budget dan lokasi dirancang, ternyata tabungan saya dan si calon ini saat itu tidak ada apa-apanya dibandingkan biaya DP rumah, hahaha.

Setelah hunting beberapa lama, akhirnya kita sreg dengan salah satu perumahan di kawasan selatan Jakarta (saat ini dikenal Tangerang Selatan) yang dikelola Pak Ciputra. Namun, apa daya, karena belum resmi menikah, jadi susah juga buat perhitungan KPR (Kredit Pemilikan Rumah) skema joint income. 

Lucky us, saat itu, orang tua saya yang juga punya mimpi yang sama dengan anak perempuan visioner nya ini bersedia meminjamkan sejumlah dana untuk tambahan biaya DP (status pinjaman cicilan sangat sangat lunak:p) sampai akhirnya nanti kita resmi bisa mengajukan KPR joint income. Beruntung jarak antara DP dan proses KPR cukup lama, jadi saat itu kita masih bisa fokus mengurus persiapan pernikahan. Bahkan setelah menikah kita juga masih bisa santai menikmati fasilitas rumah dinas kakaknya suami di kawasan Kalibata yang tidak ditempati pemiliknya (thanks ya mas sudah mengijinkan kita tinggal sementara di sana, hehehe). Barulah ketika santer berita kalau rumah dinas tersebut akan direnovasi kita mulai kalang kabut, hahaha. Buru-buru telepon Bank dan menanyakan kelanjutan proses KPR.

Setelah membereskan dokumen-dokumen kelengkapan persyaratan KPR, pertengahan Maret 2008 kita resmi melakukan akad jual beli rumah di salah satu kantor notaris ternama di Bintaro. Kurang lebih 1 bulan setelah proses akad, kita resmi menempati rumah baru kita, yipppiiieee. Rasanya tak terbayangkan sodara-sodara. Akhirnya bisa punya istana sendiri yang akan memberi warna-warna indah dalam kehidupan pernikahan kita kelak. Apalagi, saat itu kita juga tengah menunggu kehadiran baby pertama yang akan meramaikan suasana rumah dan komplek rumah yang masih sepi itu, hehehe.

our 'heaven' on earth


Lalu, 2 tahun berlalu sejak tinggal di rumah (penuh) cinta ini, tak terasa si Kakak Nadhifa sudah tumbuh besar saja. Anaknya sangat aktif dan lincah. Ditambah kehadiran sejumlah orang dewasa (kadang-kadang Nenek-Kakek sering stay untuk jangka waktu lama demi nemenin cucu tersayang) kok ya rumah ini berasa sangat kecil. Padahal, saat itu kita sudah ambil yang luas paling besar di cluster tersebut tapi masih berasa main Ci Luk Ba aja gitu. Empat L banget deh pokoknya (jalan muter dikit, eh lo lagi-lo lagi, hehehehe). Akhirnya, kita mulai berhitung untuk melakukan renovasi. Pertimbangan saat itu siy memang karena kebutuhan yang mendesak dan tau sendiri kan ya, kalau harga-harga bahan bangunan itu kecenderungannya meningkat. Apalagi di tengah kegalauan Bapak Presiden menetapkan kenaikan harga BBM saat harga minyak dunia tak menentu.

Berbekal Bismillah, sedikit tabungan dan fasilitas kredit kantor suami kita pun melakukan renovasi besar-besaran. Agar tidak mengganggu proses renovasi, kita juga memutuskan ngontrak rumah (untung dapat yang satu komplek dan bersedia dikontrak untuk jangka waktu 3-4 bulan). Namapun niat baik memberikan kenyamanan bagi orang-orang disayang, Alhamdulillah banyak sekali kemudahan dalam proses renovasi ini. Salah satunya adalah dapat arsitek dan kontraktor yang recommended dan sabar banget meladeni complain perempuan visioner merangkap mantan reporter (kala itu eykeh sudah berstatus PNS bow). Ya iyalah, secara arsitek dan kontraktornya masih sepupu sendiri jadi kita benar-benar bebas berdiskusi dan berekspresi, hehehe (thanks banget ya Nal, the architect...).

Penasaran kan, seperti apa kira-kira rumah (penuh) cinta episode 2 kami dan seperti apa prosesnya....

Jangan kemana-mana ya, I''ll be back soon....:)

-to be continue-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar