Senin, 07 April 2014

Coretan Menjelang Pileg 2014

Yeay, besok libur nasional. Rabu, 9 April 2014, warga Indonesia menyambut pesta demokrasi ke sekian di alam (yang katanya) reformasi lewat Pemilihan Legislatif (Pileg). Buat saya, Pemilu tidak terlalu meninggalkan kesan yang berarti. Lahir di keluarga yang jauh dari hingar bingar politik membuat pendidikan politik saya kacau. Saya justru banyak belajar politik ketika dulu menjadi jurnalis televisi. Belajar pun otodidak lewat obrolan dengan teman, wawancara narasumber dan baca-baca berita lalu membuat analisa sendiri yang terkadang cukup objektif namun seringkali subejktif.

Tahun 1999 harusnya menjadi moment pertama menggunakan hak pilih, tapi sepertinya saya melewatkan momen tersebut karena masih baru-baru kuliah. Tahun 2004 yang harusnya menjadi Pemilu kedua buat saya sepertinya juga terlewatkan begitu saja. Baru pada 2009, saat itu sudah berkeluarga dan terdata sebagai warga DKI Jakarta, saya menggunakan hak pilih pada Pileg maupun Pemilihan Presiden (Pilpres). Kalau Pileg karena kebetulan ada kakak ipar yang kebetulan politikus ikut bertarung di Derah Pemilihan Jakarta Timur dan kebetulan KTP saya waktu itu mencantumkan domisili di Jatinegara Jakarta Timur (maklum ya masih jaman KTP 'nembak', hehehe). Jadi, sang suami yang pasti punya banyak kepentingan itu bela-belain mengantarkan saya dari rumah Bintaro untuk mencoblos ke Cipinang Muara. Perjuangan banget deh waktu itu nyari Tempat Pemilihan Suara (TPS) yang nyempil-nyempil demi satu suara buat sang Kakak Ipar.

Meski akhirnya si kakak ipar ini tidak terpilih, tapi kok kayanya senang saja sudah menggunakan hak pilih kala itu. Kayanya plong aja gitu. Mencoblos keluarga sendiri yang kita tahu kapabilitasnya di dunia politik. Di tahun yang sama, saya juga mencoblos saat Pilpres. Pokoknya niaaaat banget lah ya. Mengharapkan sebuah perubahan yang nyata karena selama ini kok kayanya masyarakat Indonesia 'terlena' dengan kecakapan retorika dibalut pencitraan dari Presiden sebelumnya yang ternyata tidak banyak membawa perubahan signifikan bagi bangsa. Malah, bangsa ini sepertinya tersandera korupsi kronis tak tersembuhkan.

Saat itu saya berharap presiden pilihan saya dapat menang dan membawa perubahan ke arah yang lebih baik dan tentu bekerja lebih cepat. Sedihnya, ternyata si Bapak asal Sulawesi ini tidak menang sodara-sodara (ketebak lah ya). Ironisnya malah cuma mendulang suara 12% saja. Si partai biru itu benar-benar naik daun saat itu.

Kini, di tahun 2014 penyakit malas mencoblos itu tiba-tiba menyerang kembali. Kali ini malah lebih parah daripada tahun 1999 dan 2004. Saya yang sudah berubah haluan menjadi seorang PNS dan kebetulan dipimpin seorang Gubernur yang (terkondisikan) jadi Capres pula semakin tidak tertarik untuk menggunakan hak pilih. Setidaknya untuk pemilihan legislatif. Sebagai orang yang pernah bekerja di media dan cukup rajin baca berita, kok saya tidak melihat sosok wakil rakyat yang layak untuk dipilih (setidaknya di wilayah domisili saya).

Saat ini, Calon Legislatif (Caleg) malah ramai mengampanyekan diri lewat pohon (yang jelas-jelas bikin kumuh dan rusak mata). Lewat spanduk yang pasti butuh modal banyak. Lewat angkot yang lagi-lagi pakai duit. Bahkan, beberapa caleg mengiklankan diri lewat surat kabar dan televisi yang biayanya lebih gila. Asumsi bodohnya, lewat dana yang segitu besar, mereka para caleg ini pasti akan memutar otak untuk balik modal kala duduk di kursi DPR nanti, iya kaaaan. Kenapa siy, mereka tidak mendekatkan diri dalam arti sebenarnya kepada calon pemilih mereka, kenapa siy mereka tidak membuat cara-cara kreatif lewat sebuah gerakan yang akhirnya bisa menggerakkan warga untuk memilih mereka. Toh, pastinya banyak cara-cara ciamik yang bisa dilakukan atas nama kegiatan menjaring aspirasi daripada sekedar cetak spanduk atau pajang foto dimana-mana...

Toh, lewat spanduk dan foto ini kita seringkali tertipu. Sebagai warga Tangerang Selatan yang sudah tinggal di Tangsel sejak 2008 (beberapa bulan sebelum kelahiran Tangsel) dan menjadi saksi mata betapa warga 'dibodohi' oleh spanduk. Beberapa bulan menjelang kelahirannya, Tangsel dipenuhi spanduk yang memajang foto perempuan cantik dengan pesan-pesan tidak penting (menurut saya). Mulai dari selamat puasa, selamat lebaran dan selamat-selamat lainnya. Ujung-ujungnya malah Tangsel dan Banten tidak selamat (dari cengkraman korupsi dan politik dinasti) *miris.

Semoga para pemilih besok tidak terjebak lagi ya dengan tampang manis di spanduk, poster atau televisi. Semoga pemilih bisa bisa cerdas dan cermat memilih wakil rakyatnya yang benar-benar mau bekerja dengan hati dan benar-benar bisa membawa kebaikan bagi rakyat.

Bagi saya pribadi, hingga saat ini sosok itu belum terlihat. Jadi, biar adil, besok saya akan mencoblos semua nama yang ada di kertas surat suara:p


Lain halnya dengan bapak suami yang sudah memantapkan hati dan akan menempuh perjalanan ratusan kilometer demi mendukung sang kakak yang kali ini bertarung di Dapil andalannya, tanah kelahirannya sendiri.

Caiyyyoooo suami (nah loooo mulai hilang fokus), hahahaha.

Caiiyyo Indonesia, selamat memilih, semoga negara ini benar-benar bisa selamat...

Insya Allah




Tidak ada komentar:

Posting Komentar