Rabu, 02 April 2014

Jurus Parenting ala Rhenald Kasali


Lupa persisnya tahun berapa, kalau gak salah saat itu lagi tugas sebagai reporter di desk Ekonomi dan Bisnis (Ekbis). Biasanya suka nongkrong di beberapa kementerian dengan 'aroma' Ekbis, misalnya, perdagangan, perindustrian, keuangan, dan beberapa kementerian lain yang terkait. Nah, pas lagi menghadiri Konfrensi Pers di Kementerian Perdagangan, saya berkesempatan kenalan dengan pakar  marketing dari UI ini. Kesan pertama, orangnya humble, komunikatif pastinya dan ramah bangeeeet. Menyandang status sebagai reporter baru dan fresh graduate juga, sebenarnya masih agak-agak kaku gitu di lapangan. Tapi Mr. Rhenald Kasali bisa mencairkan suasana dan membangun suasana akrab meski baru pertama kali bertemu.

Singkat cerita, setelah bertukar nomor telepon beliau bilang "Nanti saya kirim buku saya ya, kamu tolong SMS alamatnya". Saya yang waktu itu ga terlalu berharap juga, santai saja bilang "Ok, Pak, makasih, sampai ketemu". Standar lah ya. Tapi, selang beberapa hari, ternyata si Bapak ini telepon dan minta di sms in alamat saya segera. Surprise juga. Tapi, lumayan dong buat baca-baca dan nambah koleksi buku, grateees pula. Akhirnya lewat seorang kurir, buku itu pun nyampai di kos an saya. Dilengkapi tanda tangan di halaman awal, akhirnya saya baca buku "CHANGE" karya Rhenald Kasali, dikirimkan langsung oleh penulisnya, senaaang.

Dulu, waktu kuliah di komunikasi juga pernah baca beberapa buku marketing karya Rhenald Kasali. Tapi, ketika baca buku yang dikirimkan langsung oleh si penulis itu tetap beda ya... agak-agak gimana gitu, halah.

Tahun berlalu, buku CHANGE ini juga sudah pernah dipinjam oleh adik saya yang kuliah di Teknik Industri. Si adik juga sempat kaget pas lihat message khusus dan tandatangan di lembar pertama, tapi akhirnya maklum juga karena punya Kakak Reportel Handal (jepit), hahahaha.

Lama tak berjumpa dengan Bapak Rhenald Kasali, tiba-tiba pagi ini baca artikelnya di sebuah situs surat kabar Online saat di Kopaja dalam perjalanan menuju kantor. Judulnya "Mengapa Anak Pintar di Sekolah, Ekonominya Bisa Sulit?". Menarik dan menginspirasi sekali. Apalagi buat saya di masa-masa galau dalam proses parenting.

Sebagai dosen senior di UI, pastinya Mr. Rhenald Kasali ini sudah menemui berbagai karakter mahasiswa. Kisahnya berawal dari sebuah ilustrasi saat seorang mahasiswa S2 begitu susah menyelesaikan thesis S2 nya. Semua judul yang diajukan selalu ditolak oleh dosen pembimbing. Padahal sejak SD hingga kuliah, mahasiswa ini selalu menduduki peringkat 1. Sementara teman-temannya yang lain sepertinya begitu mudah dan pintar mencari celah dalam proses thesis hingga akhirnya menyelesaikan studi S2.

Mungkin hal inilah yang banyak tidak disadari oleh orang tua. Anak yang menjadi bintang kelas ternyata menyimpan kesombongan dan ketidakmampuan menghadapi kesulitan. Semuanya serba sudah dikondisikan. Kesulitan dalam pelajaran tertentu akan langsung direspon orang tua dengan menyediakan guru les dan privat. Sementara realitas orang dewasa tidaklah sesederhana itu.

Akhirnya anak akan tumbuh dengan dunia yang sudah sangat mudah ditaklukkan (setidaknya menurut mereka). Padahal, realitas kehidupan orang dewasa nantinya akan diwarnai dengan kesulitan dan rintangan.

Membaca artikel seperti ini membuat saya berkaca dan menginstropeksi diri. Jika saya tidak membaca tulisan ini, sepertinya bibit-bibit orang tua seperti contoh di atas ada dalam diri saya. Memiliki 2 anak yang masih dalam proses tumbuh kembang (5,5 tahun dan 2 tahun) dan dalam kondisi ekonomi yang alhamdulillah cukup dalam artian bisa menyediakan tempat tinggal yang layak, menyediakan sarana transportasi, sesekali bisa liburan (seputaran Jawa dan Sumatera sesuai asal orang tuanya, hehehe), menyekolahkan di sekolah yang baik, sesekali memberikan hadiah atas prestasi mereka terkadang membuat saya bertanya-tanya pada diri sendiri, kira-kira tantangan seperti apa yang cocok buat mereka.

Jujur, sebagai orang tua kita pasti akan melakukan apa saja demi kebahagiaan anak. Tapi, di sisi lain, si anak juga butuh tantangan sebagai modalnya menghadapi realitas dunia kelak. Kepikiran untuk mengajarkan anak-anak naik angkutan umum seperti angkot, kereta, dan alternatif angkutan umum lainnya. Tapi, seperti yang kita tahu, sekarang ini kan angkot banyak yang tidak nyaman buat anak-anak. Apalagi kereta, tiket seharga Rp 2000 membuat orang beralih menggunakan kereta dan keretapun penuh sesak. Belum lagi kalau harus membayangkan banyaknya tindakan kriminal di angkutan dan jalan raya. Huaaa, horror sekali rasanya. Skeptis kah saya atau over protektif kah saya? Entahlah...

Rhenald Kasali dalam artikelnya menuturkan, Psikolog Stanford University, Carol Dweck yang menulis temuan dari eksperimennya dalam buku The New Psychology of Success menulis “Hadiah terpenting dan terindah dari orangtua pada anak-anaknya adalah tantangan.”

Ya, tantangan. Apakah itu kesulitan-kesulitan hidup, rasa frustasi dalam memecahkan masalah, sampai kegagalan "membuka pintu", jatuh bangun di usia muda. Ini berbeda dengan pandangan banyak orang tua yang cepat-cepat ingin mengambil masalah yang dihadapi anak-anaknya. Bahkan, banyak pejabat yang mengambil alih tanggung jawab anak-anaknya ketika menghadapi proses hukum karena kelalaian mereka di jalan raya. 

Kesalahan mereka membuat kita resah. Masalah mereka adalah masalah kita, bukan milik mereka.

Termasuk di dalamnya adalah rasa bangga orangtua yang berlebihan ketika anak-anaknya mengalami kemudahan dalam belajar dibandingkan rekan-rekannya di sekolah.

Berkebalikan pujian yang dibangga-banggakan, Dweck malah menganjurkan orangtua justru mengucapkan kalimat seperti ini: “Maafkan Ibu telah membuatmu terlalu gampang nak. Soal ini kurang menarik. Bagaimana kalau kita coba yang lebih menantang?”.


Benar banget ya, selama ini saya selalu menghamburkan pujian buat anak-anak, niatnya untuk membangun kepercayaan dirinya. Tapi ternyata, pujian pun ada dosisnya dan sepertinya pujian saya terhadap anak-anak (terutama Nadhifa) sudah over dosis *tutup muka. Beberapa kali saya mendapati Nadhifa ngobrol dengan orang-orang di sekitarnya, entah topik sebelumnya apa, tapi dia suka menyelipkan kata-kata "Iya, karena aku kan cantik.". Jeng....jeng...Atau, sesekali dia mengerjakan kumonnya dan sesuai target, lantas dia akan berujar "Mmmhh, aku pintar kan...". Pujian yang over dosis mengakibatkan anak cenderung menjadi over confidence.

Saran Ibu Dweck, dari kecil anak-anak harus dibiasakan dibesarkan dalam alam yang menantang. Bukan asal gampang atau digampangkan. Pujian boleh untuk menyemangati, bukan membuatnya selalu mudah.

Menurut Ibu Carol Dweck dari hasil perenungan Mr. Rhenald Kasali, sebenarnya sederhana saja: orangtua, jangan cepat-cepat merampas kesulitan yang dihadapi anak-anakmu. Sebaliknya, berilah mereka kesempatan untuk menghadapi tantangan dan kesulitan.

So, mulai sekarang, saya sepertinya harus secara bertahap mengurangi pujian-pujian terhadap anak-anak dan beralih menggunakan jurusnya Ibu Dweck dan Mr Rhenald ini, saatnya berubah *singsingkan lengan baju pake ikat kepala.

 
Kiddos, Are you ready for challenges...Yesssss



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar