Saya menambahkan nama Walker justru karena ingin memotivasi diri untuk terus bergerak terutama lewat jalan kaki. Selain berolahraga, dengan berjalan, kita melatih diri untuk melihat di sekitar, memahami, dan akhirnya mengerti. Dengan berjalan kita bisa merenung, berpikir dan peka terhadap sesama. Sambil berjalan kita bisa belajar banyak hal, mulai dari hal-hal kecil yang ada di sekitar kita.
Rute jalan ini pun tak lebih dari sekedar kebetulan. Sebagai seorang komuter kereta yang berhenti di Stasiun Tanah Abang, dulu saya sempat dimanjakan dengan kehadiran Kopaja 502 (Tanah Abang-Kampung Melayu) yang selalu ngetem tak jauh dari stasiun. Bahkan sempat melewati persis depan stasiun untuk mengitari Blok G dan kawasan Tanah abang sekitarnya. Namun, karena menimbulkan kemacetan, pada jam-jam padat, rute ini dievaluasi kembali. Hasilnya, sekarang untuk naik Kopaja andalan ini saya harus berjalan dulu hingga Jalan Jatibaru (kurang lebih 300 meter). Sampainya di "halte" ban bekas (tempat tunggu kopaja ini dipenuhi ban bekas siap jual), biasanya kalau lagi mujur si Kopaja suka ada aja. Tapi kalau lagi apes, suka lama juga nunggunya. Jadi, suatu hari, lupa tepatnya kapan, saya iseng aja jalan kaki menyisiri kepadatan lalu lintas ibukota di pagi hari sambil ditemani sinar mentari pagi *sok puitis. Gak terasa, dengan berjalan kaki, saya cuma butuh waktu 20 menitan loh untuk sampai di kantor. Beda tipis ama naik Kopaja yang biasanya 10 menitan (kalau lancar).
Ngomong-ngomong soal halte ban bekas ini juga bikin ngenes lo. Bayangkan, itu bukan saja nutupin trotoar tapi juga nutupin saluran. Jadi, di bawah ban-ban dan velg-velg bekas itu tampak jelas sealuran drainase tersumbat. Air berbuih menggenang bercampur sampah. Iiiihhh...*tutup idung *buang muka.
Pertama kali jalan, rasanya emang agak-agak gempor juga, tapi setalah dijalani ternyata baik-baik saja tuh. Malah lebih enak ke badan dan bisa bikin tidur lebih nyenyak juga. Jadi, sejak saat itu, saya jadi rutin loh jalan kaki (kalau tidak ketinggalan kereta andalan jam 6.30 pagi). Kalau udah kesiangan ya tetap milih naik Kopaja juga demi meminimalisir dampak potongan-potongan karena telat ituh.
Jadi, meski dulu di masa jayanya saya sempat dikenal jago lari (terutama jarak jauh/marathon), di masa kini saya ingin dikenal sebagai pejalan kaki saja. Meski lari kini sedang trend dan menjadi bagian lifestyle, tapi aku kan memang ga mainstream juga orangnya, hehe. Tapi ga nolak juga lo kalo ada tantangan lari 5 km doang mah, demi eksistensi, hahaha.
Nah, seperti yang sudah diceritakan di awal-awal tadi, ternyata jalan kaki yang jaraknya kurang lebih 3 km itu banyak hikmahnya loh. Tak hanya buat kesehatan, tapi kita bisa belajar memaknai kehidupan *beraaaattt. Apalagi kalo jalannya 10 km ya, pasti nyampe kantor bawaannya langsung pengen tidur *mulai salah fokus.
Jadi, di sepanjang trotoar ketika kita keluar gate Stasiun Tanah Abang, tukang ojek akan memanggil-manggil kita dan menawarkan jasa antar ke tujuan. Saya sih ogah dong, selain berat di ongkos malas juga liat kelakuan mamang-mamang ojek ini, udahlah menghalangi pejalan kaki yang mau jalan di trotoar, mereka juga seenaknya nyampah di sepanjang trotoar. Jadilah itu trotoar nya terlihat jorooook banget.
Trus, beberapa kali jalan kaki, saya juga sempat melihat bagaimana seorang Bapak mandiin anaknya (entah benaran anaknya atau tidak) di got depan Bank Indonesia (BI). Di depan gedung megah simbol perekonomian bangsa ternyata ada pemandangan tak layak yang sempat beberapa kali saya pergoki *miris. Seorang anak kecil dan bapak mandi pakai air buangan dari gedung bersama ikan-ikan kecil, lumut dan beberapa sampah.
Di depan gedung BI ini pula saya merasakan trotoar sebagai hak pejalan kaki malah diisi motor-motor aparat kepolisian yang tengah parkir. Beberapa diantaranya, malah sedang molor tanpa dosa. Di ujung trotoar, lagi-lagi troroar disalahgunakan jadi tempat mangkal ojek dan ngopi-ngopi. Ngopi-ngopi siy oke lah ya, tapi ga pake lupa buang gelas plastik ke tong sampah juga kali ya om....
Itu kenapa "tsk" nya berseragam semua ya, ckckck |
Menyalahkan warga yang suka seenaknya buang sampah sembarangan sebenarnya memang tidak baik juga. Toh, bagaimanapun juga, harus nya pemerintah kota seharusnya bisa menyediakan tong sampah di banyak tempat. Terutama di titik strategis yang memang di butuhkan. Misalnya di sekitar bangku-bangku taman. Atau di jarak beberapa puluh meter konsisten ada tempat sampahnya (jarak tanah abang sampai Kebon Sirih depan Pemprov. DKI hanya ada 3 tong sampah). Toh, itu juga bagian dari edukasi buat masyarakat bukan. Tak hanya itu, sanksi denda buat warga yang buang sampah sembarangan juga tidak dilakukan meski sudah ada payung hukumnya *tepok jidat. Alhasil, lihatlah bangku taman di sepanjang Jalan Kebon Sirih yang pada pagi hari akan dipenuhi sampah dan pastinya merusak mata *tarik napas panjang.
Terlepas dari pemandangan-pemandangan tak menarik itu, saya cuma mau share kalau ternyata jalan kaki itu enak (pake banget) lo. Selain sehat buat badan, pastinya sehat juga buat dompet. Coba ya kalau jalan kaki sudah menjadi bagian dari budaya kita, pasti jalanan tidak akan sepadat sekarang. Bayangannya siy kaya di negara-negara maju gitu. Tua muda semua bisa menikmati kota dengan berjalan kaki. Udara bersih, ramah pedestrian dan tentunya tidak ada sampah di sekitar #Mimpi #Jakartaku #Bersih #JadiNyata
Yes, I'm a walker...bagaimana dengan kamu? :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar